Tradisi Unik IPDN yang Hanya Dirasakan oleh Praja

Tradisi Unik IPDN yang Hanya Dirasakan oleh Praja

Institut Pemerintahan Dalam Negeri, atau yang lebih akrab disapa IPDN, bukan sekadar kampus pencetak kader pamong praja. Di balik gerbangnya yang megah di Jatinangor, terhampar sebuah dunia yang penuh dengan aturan ketat, disiplin tinggi, dan yang terpenting, tradisi unik yang diwariskan turun-temurun. Tradisi inilah yang menempa seorang siswa sipil menjadi Praja yang tangguh, berkarakter, dan siap mengabdi untuk negeri.

Banyak orang mungkin hanya melihat seragam cokelat gagah dan baris-berbaris yang rapi. Namun, kehidupan sebagai Praja jauh lebih kompleks dan berwarna.

Bacaan Lainnya

Pola Jarlatsuh: Tiga Pilar Pembentukan Karakter Praja

Sebelum membahas tradisi yang lebih spesifik, penting untuk kamu pahami fondasi pendidikan di IPDN. Seluruh kehidupan dan tradisi Praja berakar pada sebuah sistem yang disebut Jarlatsuh, singkatan dari Pengajaran, Pelatihan, dan Pengasuhan.

  • Pengajaran: Ini adalah porsi kegiatan akademik di dalam kelas. Sama seperti mahasiswa pada umumnya, Praja juga mempelajari berbagai teori ilmu pemerintahan, politik, manajemen, dan hukum. Namun, bobotnya diseimbangkan dengan dua pilar lainnya.
  • Pelatihan: Di sinilah fisik dan keterampilan Praja ditempa. Mulai dari Pelatihan Dasar Militer (Latsarmil), keterampilan menggunakan komputer, hingga pelatihan teknis pemerintahan seperti perencanaan pembangunan daerah. Kegiatan baris-berbaris yang sering kita lihat adalah bagian kecil dari pilar ini.
  • Pengasuhan: Ini adalah pilar yang paling unik dan membedakan IPDN. Kehidupan Praja selama 24 jam di dalam asrama (disebut wisma) berada di bawah pengawasan dan pembinaan para pengasuh. Di sinilah etika, moral, disiplin, dan jiwa korsa (semangat kebersamaan) ditanamkan melalui serangkaian tradisi dan aturan kehidupan.

Ketiga pilar ini berjalan simultan dan saling melengkapi, membentuk karakter seorang Praja secara holistik. Sebagian besar tradisi unik yang akan kita bahas lahir dari pilar Pengasuhan.

Tradisi Makan Komando: Disiplin Waktu dalam Setiap Suapan

Suasana Makan di Menza IPDN
Suasana Makan di Menza IPDN

Salah satu tradisi yang paling ikonik dan sering membuat orang luar terkejut adalah tradisi makan di Ruang Makan (Menza). Jangan bayangkan suasana makan santai sambil mengobrol. Di sini, semua berjalan dengan komando dan batasan waktu yang sangat ketat.

Prosesnya dimulai bahkan sebelum makanan tersaji. Ribuan Praja akan berbaris rapi dari wisma menuju Menza. Setibanya di sana, mereka akan berdiri di samping kursi masing-masing, menunggu aba-aba untuk duduk, berdoa, dan akhirnya makan. Waktu makan seringkali hanya dibatasi oleh durasi pemutaran dua hingga tiga lagu. Begitu lagu terakhir selesai, lonceng akan berbunyi, menandakan waktu makan habis, tak peduli apakah makanan di piringmu sudah ludes atau belum.

Apa tujuannya? Tradisi ini bukan sekadar tentang makan cepat. Ini adalah latihan untuk disiplin, efisiensi waktu, dan kebersamaan. Para Praja diajarkan untuk fokus pada tugas di depan mereka (dalam hal ini, makan) dan menyelesaikannya tepat waktu. Ini adalah cerminan dari tugas seorang abdi negara kelak, yang dituntut untuk bekerja efektif di bawah tekanan dan tenggat waktu.

Hierarki dan Panggilan Khas: Hormat pada Senioritas

Kehidupan di IPDN sangat kental dengan budaya senioritas yang positif. Tujuannya adalah untuk menanamkan rasa hormat, bimbingan (*mentorship*), dan tanggung jawab. Hal ini tercermin dalam sistem panggilan yang unik di antara Praja.

  • Muda Praja: Praja tingkat I (semester 1 dan 2).
  • Madya Praja: Praja tingkat II (semester 3 dan 4).
  • Nindya Praja: Praja tingkat III (semester 5 dan 6).
  • Wasana Praja: Praja tingkat IV (semester 7 dan 8), yang merupakan tingkat paling senior.

Seorang junior wajib memanggil seniornya dengan sebutan “Kakak Asuh” atau sebutan hormat lainnya, diikuti dengan tingkat dan nama. Misalnya, “Siap Kak, Nindya Praja Budi”. Sebaliknya, senior memiliki tanggung jawab untuk membimbing dan mengayomi juniornya, yang disebut “Adik Asuh”. Hubungan Kakak-Adik Asuh ini menjadi sistem pendukung yang kuat, tempat para junior bisa bertanya dan belajar tentang seluk-beluk kehidupan Praja.

Tradisi Korps dan Jiwa Korsa: Satu Rasa, Satu Keluarga

“Jiwa Korsa” adalah napas dari kehidupan Praja IPDN. Ini adalah semangat solidaritas, kesetiaan, dan rasa senasib sepenanggungan yang mengikat mereka sebagai satu kesatuan. Jika satu orang melakukan kesalahan, seringkali seluruh angkatan atau kelompok akan ikut merasakan sanksi atau pembinaannya. Sebaliknya, jika satu orang berprestasi, seluruh korps akan merasa bangga.

Tradisi Korps diwujudkan dalam banyak kegiatan, mulai dari acara kebersamaan di tingkat provinsi (Kontingen), angkatan, hingga acara besar seperti “Tradisi KORPS” yang digelar untuk mempererat silaturahmi antara Praja aktif dengan para alumni (IKAPTK). Semangat inilah yang membuat ikatan alumni IPDN dikenal sangat kuat bahkan setelah mereka lulus dan tersebar di seluruh penjuru Indonesia.

Nama Tradisi Tingkatan Praja Makna dan Tujuan Utama
Pembaretan dan Penyematan Brevet Madya Praja Simbol telah menyelesaikan Latihan Dasar Militer dan Kemah Juang. Menanamkan kebanggaan dan ketahanan mental.
Praktik Lapangan (PL) Nindya & Wasana Praja Aplikasi teori di lapangan (kantor desa, kecamatan, dinas). Memberikan pengalaman kerja nyata sebagai calon pamong praja.
Pedang Pora & Dharma Astha Brata Purna Praja (Alumni) Upacara pernikahan khas bagi alumni. Pedang Pora sebagai gerbang kehormatan memasuki kehidupan baru. Dharma Astha Brata adalah nasihat kepemimpinan.
Pesiar Semua Tingkat (dengan aturan) Izin keluar kampus pada waktu tertentu. Melatih tanggung jawab dan menjaga citra korps di masyarakat luar.

Dharma Astha Brata: Prosesi Sakral Purna Praja

Salah satu tradisi yang paling ditunggu dan membanggakan adalah prosesi pernikahan bagi Purna Praja, yang dikenal dengan nama Dharma Astha Brata. Ini bukan sekadar upacara pedang pora seperti di akademi militer atau kepolisian. Prosesi ini memiliki makna filosofis yang mendalam, berakar pada budaya Jawa kuno.

Dharma Astha Brata adalah delapan laku atau sifat kepemimpinan yang harus dimiliki seorang pemimpin, yang disimbolkan dengan sifat-sifat alam:

  1. Matahari: Memberi kehidupan dan energi.
  2. Bulan: Memberi penerangan dalam kegelapan.
  3. Bintang: Menjadi pedoman arah.
  4. Angin: Selalu ada di mana-mana tanpa membedakan.
  5. Mendung/Langit: Berwibawa dan mengayomi.
  6. Api: Tegas dan adil dalam memberantas kejahatan.
  7. Samudera: Berwawasan luas dan mampu menampung segala aspirasi.
  8. Bumi: Kokoh, adil, dan menjadi sumber kemakmuran.

Saat prosesi pernikahan, delapan nasihat kepemimpinan ini akan dibacakan sebagai bekal bagi kedua mempelai dalam mengarungi bahtera rumah tangga dan pengabdian. Diiringi formasi pedang pora oleh junior atau rekan seangkatan, prosesi ini menjadi momen yang sangat sakral dan mengharukan, melambangkan pelepasan seorang pamong praja untuk mengabdi pada keluarga dan negara.

Kesimpulan

Memasuki IPDN berarti siap untuk tidak hanya dididik secara akademis, tetapi juga ditempa secara mental, fisik, dan spiritual. Tradisi-tradisi unik yang telah dibahas—mulai dari cara makan yang teratur, hierarki yang terstruktur, hingga prosesi pernikahan yang sakral—bukanlah sekadar seremonial tanpa makna. Semuanya adalah bagian dari sebuah sistem besar untuk membentuk seorang Pamong Praja yang berkarakter, disiplin, berintegritas, dan memiliki jiwa korsa yang tinggi.

Kehidupan sebagai Praja mungkin terasa berat dan penuh tekanan, namun pengalaman inilah yang menciptakan ikatan persaudaraan yang tak lekang oleh waktu dan menempa mereka menjadi pribadi yang siap menghadapi tantangan apa pun dalam pengabdian kepada masyarakat dan negara. Tradisi ini adalah esensi yang membedakan lulusan IPDN, sebuah warisan yang terus hidup dari generasi ke generasi.

5/5 – (1 vote)

Yuk, Kami juga Ada di Google News & Youtube

DIREKOMENDASIKAN

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *